UU Pengampunan Pajak sudah berlaku, seberapa efektif?

Pemerintah melalui humas Dirjen Pajak Kementerian Keuangan menyatakan bahwa sampai Jumat (22/07) akhir pekan lalu, tercatat ada 40 lebih peserta yang ingin mendapat pengampunan pajak, dengan pemasukan sudah mencapai Rp8 miliar.

Meski jumlah ini masih kecil jika dibandingkan dengan target Rp165 triliun sampai Maret 2017, tenggat berlakunya UU Pengampunan Pajak, namun angka ini disambut baik oleh anggota Komisi XI DPR dari Partai Golkar, Misbakhun, yang menjadi bagian dari tim Panitia kerja membahas Undang-undang Pengampunan Pajak tersebut.

"Saat ini baru tahap sosialisasi, peraturan Menteri Keuangan yang memberikan petunjuk dan arahan masalah detil teknis amnesti pajak kan baru selesai, sehingga masyarakat baru sampai pada tahap mencari tahu secara detail tentang sistem, mekanisme, dan tata caranya," kata Misbakhun.

Pemasukan yang didapat pemerintah sekarang, menurutnya, 'belum bisa dijadikan penilaian terhadap pelaksanaan tax amnesty'.

"Perkiraan saya antara Agustus, September baru kelihatan (hasilnya)," kata Misbakhun.

Dia juga yakin bahwa target pemasukan dari pemberlakuan Undang-undang Pengampunan Pajak sebesar Rp165 triliun bisa tercapai oleh pemerintah.

Namun, kemampuan pemerintah mencapai target tersebut diragukan oleh praktisi investasi, Head of Sales RHB Asset Management, Edward Narodo.

"Tiga bulan pertama itu harusnya sudah mencapai setengah, Rp165 triliun itu berarti Rp80 triliun, kalau kita bagi tiga bulan, kurang lebih hampir Rp30 triliun per bulannya, artinya Rp1 triliun sehari, ini tiga hari saja Rp8 miliar," kata Edward memberi perbandingan.
Kendala teknis

Salah satu faktor yang menyulitkan penerapan UU Pengampunan Pajak, menurut Edward, adalah jenis kasus di lapangan yang lebih banyak dan rumit penghitungannya sehingga "menimbulkan kebingungan".

"Pemerintah juga mungkin kekurangan tenaga untuk melakukan sosialisasi. Memang ada banyak konsultan pajak yang membahas di surat kabar, melakukan seminar tentang tax amnesty tapi di lapangan jenis kasusnya lebih banyak, apalagi tak semua orang punya kemampuan untuk menginterpretasi undang-undang atau peraturan menteri keuangan yang baru keluar," kata Edward.

Selain persoalan teknis, Edward juga menganggap akan sulit bagi pemerintah untuk menyasar dana besar di luar negeri untuk dibawa pulang dan diinvestasikan di Indonesia.

"Dana yang di luar negeri ini juga bukan berarti dana tidur, ini sudah terkonversi kepada aset-aset yang lebih produktif. Bisa dibilang, mau repatriasi pun insentifnya sangat kecil, karena begitu di Indonesia pilihannya juga tak banyak, dibandingkan dananya ditempatkan di Singapura, Filipina, atau mungkin Malaysia," tambah Edward.

Edward memperkirakan dana yang terkumpul dari UU Pengampunan Pajak akan mencapai "maksimal Rp100 triliun".

Kekhawatiran Edward terkait sosialisasi teknis di lapangan dikuatkan oleh analis pajak dan Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo.

Menurut Yustinus, pemerintah harus mulai "bergerak cepat" dalam melakukan sosialisasi secara serentak.

Karena dalam penilaian Yustinus, saat ini, terkait undang-undang tersebut, "Peraturan teknis yang belum selesai jadi kendala buat wajib pajak dan petugas pajak untuk eksekusi. Yang kedua, pemahaman yang belum sesuai antara internal Dirjen Pajak sendiri dan apa yang dipahami masyarakat pada umumnya."

Pada pertengahan sampai akhir Agustus nanti, menurut Yustinus, baru bisa terlihat capaian pemasukan dari pemberlakuan undang-undang ini, dengan puncaknya dia prediksi akan terjadi pada pertengahan September.

Meski begitu, sama halnya seperti Edward, Yustinus memperkirakan pemasukan pemerintah dari undang-undang ini hanya akan berada di kisaran Rp80 triliun-Rp100 triliun.

Terkait investasi dana repatriasi, Yustinus menilai masih ada peluang bagi pemerintah dalam menarik dana besar yang parkir di luar negeri untuk ditanamkan di dalam negeri.

"Harus dipahami bahwa return investasi di sini lebih tinggi daripada di Singapura atau negara lain, maka tidak ada alasan sebenarnya orang tidak mau investasi di sini, tapi dengan catatan, pemerintah harus bisa meniadakan faktor-faktor yang menggerus kepercayaan," kata Yustinus.

Pemerintah, menurutnya, pada pihak yang merepatriasi dananya "harus segera menawarkan, proyek infrastruktur seperti apa yang akan dibiayai, prospeknya seperti apa, timbal hasil seperti apa yang harus didapat, itu juga harus jelas".

Sejak diberlakukan 1 Juli lalu, Undang-undang Pengampunan Pajak masih mendapat tentangan sejumlah kalangan, salah satunya lewat pendaftaran gugatan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi pada pertengahan Juli lalu karena diduga undang-undang ini bisa melemahkan upaya penegakan hukum para pengemplang pajak.


Sumber : www.bbc.com/indonesia | 26 Juli 2016





Baca Juga Artikel Terkait :


Advertisement


0 Response to "UU Pengampunan Pajak sudah berlaku, seberapa efektif?"

Komentar Anda

Silakan tuliskan komentar anda di sini. Mohon untuk mencantumkan identitas minimal nama Anda