Tampilkan postingan dengan label Fordis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fordis. Tampilkan semua postingan

Perubahan Formulir SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2014

Setelah cukup lama tidak mengalami perubahan, Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan kini kembali mengalami perubahan. Hal ini setelah Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER-19/PJ/2014 tanggal 3 Juli 2014 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya.

Ketentuan penggunaan formulir baru ini akan diberlakukan mulai tahun pajak 2014, yang tentunya harus disampaikan pada awal tahun 2015. Formulir-formulir baru ini menggantikan formulir lama yang telah digunakan sejak 1 Januari 2010 (atau mulai tahun pajak 2010) sampai dengan tahun pajak 2013, sesuai Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER-34/PJ/2010.

Kalau dibandingkan, formulir-formulir baru ini nyaris sama dengan formulir lama karena memang perubahannya hanya sedikit. Misalnya pada Formulir 1771, perubahannya hanya pada Poin No.10 PPh Yang Dibayar Sendiri berupa penghilangan pada huruf c [Kredit Pajak Fiskal Luar Negeri], dan pada poin 17 berupa penambahan pada huruf l [Rincian Jumlah Penghasilan dan Pembayaran PPh Final PP 46/2013 per Masa Pajak dari Masing-masing Tempat Usaha].

Adapun formulir SPT Tahunan Pajak Penghasilan yang mengalami perubahan meliputi sebagai berikut :
  1. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi (Form 1770)
  2. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Sederhana (Form 1770-S)
  3. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Sangat Sederhana (Form 1770-SS)
  4. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan (Form 1771)
  5. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan Dollar (Form 1771/$)
Formulir-formulir baru tersebut beserta petunjuk pengisiannya sudah saya sajikan di blog ini, baik dalam format pdf maupun excel. Silakan anda mengunjungi menu Formulir di blog ini. Anda dapat men-download file-filenya sesuai yang anda perlukan.

Baca selengkapnya [...]

Pengukuhan PKP, Apakah Berlaku Surut ?

Pada tulisan saya yang lalu berjudul Batasan Pengusaha Untuk Dikukuhkan Sebagai Pengusaha Kena Pajak, ada salah seorang pembaca (Sdr. Pakne Rake Narendra) yang menyampaikan sebuah kasus sebagai berikut:

A dan B Saudara kembar, berusaha dengan peredaran yg kurang lebih sama. Sejak Juni tahun 2008 keduanya telah mencapai 601 juta. Januari 2012 A melaporkan diri untuk dikukuhkan sebagai PKP, sedangkan B tidak. Februari 2012 B ketahuan peredarannya melebihi 600 jt maka dikukuhkan secara jabatan. April 2013 keduanya diperiksa dan sama2 ketahuan bahwa seharusnya sejak Juni 2008 sudah harus PKP. Apakah Fiskus akan memperlakukan sama untuk A dan B dalam arti akan meng skP atau meng stp keduanya sejak Juni 2008?


Terima Kasih.
Yaklep.

Mengingat keterbatasan ruang komentar, maka saya posting jawaban/pendapat saya di halaman Forum Diskusi (Fordis) ini.

Jawaban saya adalah sebagai berikut :

(1) Pasal 2 ayat (2) UU KUP :
Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.

(2) Pasal 2 PMK Nomor 68/PMK.03/2010 :
Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

(3) Pasal 2 ayat (4) UU KUP :
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2).

(4) Pasal 2 ayat (4a) KUP :
Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak. 

(5) Faktanya berdasarkan hasil pemeriksaan (April 2013) diketahui bahwa A dan B telah memenuhi persyaratan subjektif maupun objektif sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) sejak bulan Juni 2008, tetapi s.d. 31 Juli 2008 tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.  Dalam hal ini Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) UU KUP,  maka Dirjen Pajak (dapat) mengukuhkan A dan B sebagai PKP terhitung sejak bulan/masa Juni 2008 (lihat poin 4 diatas).  NPPKP yang diterbitkan sebelumnya baik terhadap A (per Januari 2012) maupun NPPKP terhadap B (per Februari 2012) dicabut karena tidak sesuai dengan faktanya bahwa baik A maupun B sudah memenuhi persyaratan sebagai PKP sejak Juni 2008.

(6) Sesuai Pasal 13 ayat (1) huruf e UU KUP, Dirjen Pajak dapat menerbitkan skp (SKPKB) kepada A dan B, sejak masa pajak Juni 2008.

Demikian pendapat penulis.

Baca selengkapnya [...]

Ketentuan Baru Faktur Pajak Tahun 2013

Direktorat Jenderal Pajak kembali mengeluarkan ketentuan baru mengenai faktur pajak, yaitu dengan diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 tanggal 22 November 2012.  Peraturan Dirjen Pajak ini diterbitkan sebagai pelaksanaan dari Pasal 13 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.03/2012.  Sebagaimana diketahui pula bahwa Peraturan Dirjen Pajak ini menggantikan peraturan yang lama yaitu PER-13/PJ/2010 yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Peraturan Dirjen Pajak ini akan efektif mulai berlaku sejak tanggal 1 April 2013, sehingga sejak awal April 2013 seluruh Pengusaha Kena Pajak wajib menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.


Beberapa ketentuan yang mengalami perubahan terkait ketentuan baru mengenai faktur pajak akan coba saya uraikan.

Kapan Faktur Pajak Harus Dibuat

Salah satu hal yang diatur dalam peraturan baru ini adalah tentang kapan faktur pajak harus dibuat. Di dalam peraturan lama (PER-13/PJ/2010) diatur bahwa faktur pajak harus dibuat pada:
  1. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
  2. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
  3. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan;
  4. saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendahara Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
Di dalam PER-24/PJ/2012, ada penambahan satu kondisi baru yang ditentukan sebagai saat faktur pajak harus dibuat berupa penambahan butir e yaitu; saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah apabila pengusaha kena pajak menerbitkan faktur pajak melewati batas waktu sebagaimana disebutkan diatas, akan dikenai sanksi administrasi sesuai Pasal 14 ayat (4) Undang-undang KUP.
Dan apabila penerbitan faktur pajak tersebut diterbitkan melewati jangka waktu tiga bulan sejak faktur pajak seharusnya dibuat, maka Pengusaha Kena Pajak (PKP) dianggap tidak menerbitkan faktur pajak. Konsekuensinya, PKP Pembeli Barang Kena Pajak (BKP) atau Penerima Jasa Kena Pajak (JKP) yang menerima faktur pajak tersebut tidak dapat mengkreditkan PPN yang tercantum didalamnya sebagai Pajak Masukan.

Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak

Sebagaimana kita ketahui, jumlah digit untuk kode dan nomor seri faktur pajak menurut ketentuan sebelumnya berjumlah 16 digit.  Tidak ada perubahan dari sisi jumlah digit kode dan nomor seri faktur pajak pada ketentuan yang baru, tetapi ada sedikit perubahan pengaturan format nomornya. Enam belas digit tersebut terdiri atas; 2 digit Kode Transaksi, 1 digit Kode Status dan 13 digit Nomor Seri Faktur Pajak yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Nomor Seri Faktur Pajak (13 digit) akan diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak sesuai permintaan PKP. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP dikukuhkan akan memberikan nomor seri Faktur Pajak ke PKP dengan tata cara yang telah ditentukan dimulai dari Nomor Seri 900-13.00000001 untuk Faktur Pajak yang diterbitkan tanggal 1 April 2013. Untuk tahun 2014 akan dimulai dari nomor seri Faktur Pajak 000-14.00000001 dan seterusnya.

Contoh penulisan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak : 010.900-13.00000001

Permintaan Nomor Seri Faktur Pajak

Untuk dapat menggunakan nomor seri faktur pajak, PKP harus mengajukan permintaan ke Kantor Pelayanan Pajak dimana PKP dikukuhkan (terdaftar), dengan cara menyampaikan surat permintaan Nomor Seri Faktur Pajak dengan formulir yang telah ditentukan. Kantor Pelayanan Pajak akan menerbitkan surat pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak kepada PKP yang telah memiliki Kode Aktivasi dan Password. Persyaratan lainnya, PKP harus telah melaporkan SPT Masa PPN untuk 3 (tiga) masa pajak terakhir.

Kode Aktivasi dan Password

Untuk mendapatkan Kode Aktivasi dan Password, PKP harus mengajukan permohonan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat (di mana PKP dikukuhkan/terdaftar) dengan menggunakan formulir yang telah ditentukan. Kantor Pelayanan Pajak akan menerbitkan Kode Aktivasi dan Password dalam hal PKP telah memenuhi syarat sebagai berikut :
  1. PKP telah dilakukan Registrasi Ulang oleh Kantor Pelayanan Pajak dimana PKP dikukuhkan/terdaftar berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-05/PJ/2012, atau
  2. PKP telah dilakukan verifikasi berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2012.
Surat pemberitahuan Kode Aktivasi akan dikirimkan ke alamat PKP melalui pos, sedangkan Password akan dikirimkan melalui surat elektronik (email) ke alamat email PKP yang dicantumkan dalam surat permohonan Kode Aktivasi dan Password.

Faktur Pajak Tidak Lengkap

Di dalam ketentuan yang baru ini (PER-24/PJ/2012) tidak mengenal lagi istilah faktur pajak cacat. Faktur Pajak Cacat diganti dengan istilah Faktur Pajak Tidak Lengkap. Yang dimaksud dengan Faktur Pajak Tidak Lengkap adalah Faktur Pajak yang tidak mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-undang PPN, dan/atau mencantumkan keterangan tidak sebenarnya atau sesungguhnya, dan/atau mengisi keterangan yang tidak sesuai dengan tata cara dan prosedur sebagaimana diatur dalam PER-24/PJ/2012.

Yang termasuk sebagai Faktur Pajak Tidak Lengkap adalah sebagai berikut :
  • Faktur Pajak tidak diisi secara lengkap, jelas dan benar
  • Faktur Pajak tidak ditandatangani oleh PKP atau pejabat yang ditunjuk oleh PKP untuk menandatangani faktur pajak
  • Faktur Pajak menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak ganda dalam tahun pajak yang sama
  • Faktur Pajak yang diisi dengan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak tidak sesuai dengan ketentuan
  • Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP yang tidak atau terlambat menyampaikan pemberitahuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat dimana PKP dikukuhkan/terdaftar perihal nama pejabat/pegawai yang berhak menandatangani faktur pajak.
Dan perlu menjadi catatan, PKP Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak tidak dapat mengkreditkan PPN yang tercantum di dalam Faktur Pajak Tidak Lengkap.

Semoga bermanfaat. 

Baca selengkapnya [...]

Batasan Pengusaha Untuk Dikukuhkan Sebagai Pengusaha Kena Pajak


Tulisan  ini  untuk  menjawab  pertanyaan   beberapa   pembaca  yang   menanyakan  tentang  batasan  kapan pengusaha menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).  Mungkin yang menjadi pertanyaan pembaca tersebut adalah; pada batas peredaran usaha berapakah sebuah entitas usaha berkewajiban melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
Untuk melengkapi pembahasan, akan diuraikan juga isu-isu lain yang terkait.  Isu lain yang kami rasa cukup penting adalah tentang batasan pengusaha kecil, kapan pengusaha harus melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP serta bagaimana pengenaan PPN untuk pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/ atau Jasa Kena Pajak (JKP) tetapi belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.

Batasan Pengusaha Kecil
Di dalam Pasal 3A ayat (1) Undang-undang PPN diatur bahwa pengusaha yang melakukan penyerahan BKP/JKP atau melakukan ekspor BKP/JKP wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) kecuali pengusaha yang memenuhi kriteria sebagai Pengusaha Kecil.  
Selanjutnya di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 didefinisikan bahwa Pengusaha Kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah).
Yang dimaksud dengan peredaran bruto disini  adalah pengertian peredaran bruto dari sudut pandang PPN yaitu jumlah keseluruhan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya. 
Pengusaha yang peredaran usahanya dalam satu tahun buku telah melebihi Rp 600.000.000  wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, karena sudah tidak termasuk dalam batasan sebagai pengusaha kecil.  Walaupun kewajiban melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP tidak berlaku untuk Pengusaha Kecil, Pengusaha Kecil dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP.  Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP maka melekatlah kewajiban padanya untuk memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya.
Kapan pengusaha harus melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP
Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 600.000.000.  Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tersebut dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 600.000.000.  Direktur Jenderal Pajak dapat mengukuhkan pengusaha sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan, apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan bahwa pengusaha sebenarnya telah berkewajiban melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP tetapi hal tersebut  tidak dipenuhi pengusaha.
Pengenaan PPN untuk pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/ atau Jasa Kena Pajak (JKP) tetapi belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.
Kewajiban perpajakan bagi Pengusaha yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan dimulai sejak saat Pengusaha memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Oleh karena itu Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau surat tagihan pajak untuk Masa Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan secara jabatan sebagai Pengusaha Kena Pajak, terhitung sejak saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 600.000.000.

Baca selengkapnya [...]

[Mencoba] Mendefinisikan Kendaraan Bermotor Jenis Station Wagon

Pada tulisan kali ini saya masih ingin mengulas sedikit mengenai salah satu perubahan dalam Undang-undang PPN terbaru (UU. Nomor 42 Tahun 2009). Salah satu perubahan yang saya maksudkan adalah ketentuan pada Pasal 9 ayat (8) huruf c UU Pajak Pertambahan Nilai. Untuk melihat perubahan tersebut, berikut saya kutipkan bunyi ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf c UU PPN sebelum dan setelah mengalami perubahan.


Sebelum mengalami perubahan (UU. Nomor 18 Tahun 2000) :
Pasal 9 ayat (8), Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk : c. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;


Setelah mengalami perubahan (UU. Nomor 42 Tahun 2009) :
Pasal 9 ayat (8), Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk : c. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;

Dari materi ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf c UU PPN di atas, baik sebelum atau setelah mengalami perubahan, maka ada beberapa hal yang patut untuk kita cermati :
  1. Perubahan redaksi pada kalimat "... kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi..." menjadi " ... kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon ..."
  2. [Mencoba] Mendefinisikan Kendaraan Bermotor Berupa Station Wagon
Perubahan redaksi pada kalimat "... kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi..." menjadi " ... kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon ..."
Tidak dipungkiri bahwa sebelum ketentuan ini mengalami perubahan, kita sering mengalami kesulitan untuk menerapkan ketentuan ini di lapangan disebabkan karena kesulitan atau ke-gamang-an kita dalam mendefinisikan kendaraan bermotor jenis jeep, station wagon, van dan kombi. Hal ini karena memang belum ada ketentuan perpajakan yang menjelaskan atau memberikan batasan dan kriteria yang pasti mengenai jenis kendaraan jeep, station wagon, van dan kombi. Sangat cepatnya perkembangan industri otomotif dalam persaingan merebut hati konsumen melalui model-model terbaru yang ditawarkan, menambah permasalahan tersendiri.
Namun kita patut bersyukur karena pada ketentuan yang baru, pasal ini telah mengalami perubahan (atau bisa diartikan juga sebagai penyempurnaan) dari ketentuan sebelumnya, sehingga menjadi lebih sederhana. Kita menjadi lebih mudah memahami bahwa Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan dalam konteks pasal ini adalah atas perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon.
Permasalahan yang masih tersisa adalah sebuah pertanyaan, apakah definisi (batasan) dan bagaimana spesifikasi kendaraan bermotor yang termasuk sebagai station wagon?

[Mencoba] Mendefinisikan Kendaraan Bermotor Berupa Station Wagon
Pada ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf c UU PPN terbaru, disebutkan bahwa pengkreditan pajak masukan tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan. Sebagian besar kita pasti sudah sangat familiar dengan kendaraan jenis sedan, sehingga tidak perlu untuk dijelaskan di sini. Adapun untuk kendaraan jenis station wagon adalah tugas dan tujuan saya menuliskannya di blog ini.
Mengingat bahwa peraturan perpajakan belum ada yang memberikan definisi dan penjelasan spesifikasi station wagon (asumsi Penulis), maka Penulis akan berusaha memberikan referensi yang memadai agar Anda bisa mendefiniskan kendaraan (mobil) apa saja yang masuk kriteria sebagai station wagon.

Station Wagon Menurut Wikipedia
"A station wagon or estate car is a body style variant of a sedan/saloon with its roof extended rearward[1] over a shared passenger/cargo volume with access at the back via a third or fifth door (the liftgate or tailgate), instead of a trunk lid. The body style transforms a standard three-box design into a two-box design — to include an A, B & C-pillar, as well as a D pillar. Station wagons feature flexibility to allow configurations that either favor passenger or cargo volume, e.g., fold-down rear seats."
Menurut definisi tersebut dapat dipahami bahwa sebuah mobil station wagon pada dasarnya merupakan variant dari jenis sedan, dengan atap diperpanjang kebelakang melampaui ruang penumpang dan kargo/barang, dengan akses di belakang melalui pintu ketiga atau kelima (pintu-ekor/tail-gate), bukan dari bagasi.
Ilustrasi gambar di bawah ini mudah-mudahan dapat memperjelas definisi ini. Pada gambar atas adalah jenis sedan dimana badan mobil terdiri atas tiga kotak (pada gambar dibedakan dengan warna) yaitu bagian depan (ruang mesin), bagian tengah (ruang penumpang) dan bagian belakang (bagasi/kargo). Sedang station wagon adalah gambar yang tengah, dimana badannya hanya terdiri dari dua kotak yaitu bagian depan (ruang mesin) dan bagian belakang (ruang penumpang dan kargo/barang).


Station Wagon Menurut The American Heritage Dictionary
The American Heritage Dictionary defines a station wagon as "an automobile with one or more rows of folding or removable seats behind the driver and no luggage compartment but an area behind the seats into which suitcases, parcels, etc., can be loaded through a tailgate."

Definisi dari The American Heritage Dictionary lebih memperjelas gambaran kita akan sebuah station wagon, dimana digambarkan bahwa station wagon adalah sebuah mobil dengan satu atau lebih baris kursi yang dapat dilipat atau dilepas di belakang sopir dan tidak ada ruang bagasi [seperti pada sedan] tapi sebuah ruang di belakang kursi di mana koper, paket, dll, dapat dimuat melalui sebuah pintu belakang.

Penggunaan Istilah Station Wagon dan Perkembangannya
"Station wagon" atau "wagon" adalah istilah yang secara umum digunakan dalam bahasa Inggris United States, Australia, Kanada dan New Zealand. Sedang "estate car" atau "estate" adalah umum digunakan pada British English.

Pabrikan-pabrikan mobil dunia telah memasarkan body-style wagon dengan istilah yang bermacam-macam; misalnya Audi dengan "Avant", BMW dengan "Touring", Citroen dengan "Break", Volkswagen dengan "Variant", Opel dengan "Caravan", Wartburg dengan "Tourist", Fiat dengan "Weekend", Mazda dengan "Estate", serta pabrikan lainnya dengan istilah yang berbeda pula.

Persamaan dan Perbedaan Station wagon dengan Hatchback
Persamaan antara Station wagon dengan hatchback adalah keduanya mempunyai design konfigurasi yang sama yaitu dua kotak, kotak bagian depan adalah ruang mesin dan kotak belakang adalah ruang penumpang dan kargo/barang dalam satu ruang, serta terdapat pintu belakang untuk akses kargo/barang. Disamping mempunyai persamaan, keduanya juga mempunyai sedikit perbedaan yang antara lain adalah sebagai berikut :




  1. Ruang Kargo/barang. Ruang kargo pada station wagon lebih luas dengan jendela pada ruang kargo juga lebih luas, sedang pada hatchback relatif lebih sempit dan jendela yang minim, bahkan mungkin tanpa jendela samping di area kargo.
  2. Kursi. Pada station wagon mempunyai dua atau tiga baris kursi penumpang sedang pada hatchback hanya satu atau dua baris kursi saja.
  3. Suspensi Belakang. Suspensi belakang pada station wagon pada umumnya didesign dengan suspensi yang lebih memungkinkan untuk mengangkut beban tambahan dibanding dengan hatchback.
  4. Pintu Belakang. Pintu belakang pada hatchback biasanya didesign dengan fitur pintu berengsel dibuka keatas (top-hinged liftgate) atau kombinasi dengan pintu dibuka ke bawah untuk akses ke ruang kargo/barang.

Spesifikasi Station Wagon
Dari uraian tentang definisi station wagon di atas maka dapat kita simpulkan bahwa station wagon adalah sebuah mobil dengan spesifikasi sebagai berikut :
  1. Konfigurasi badan mobil terdiri dua kotak (two-box) yaitu kotak depan (ruang mesin) dan kotak belakang (ruang penumpang dan kargo/barang menyatu dalam satu ruang), bukan tiga kotak (three-box) sebagaimana sedan.
  2. Mempunyai akses keruang penumpang/kargo melalui pintu belakang (bukan bagasi)
  3. Mempunyai dua atau tiga baris kursi penumpang
Hatchback mempunyai spesifikasi mirip dengan station wagon, hanya size dan volume badan (body) relatif lebih kecil, sehingga kita kategori-kan juga sebagai station wagon.

Mengidentifikasi Mobil di Pasar Indonesia
Setelah kita mengetahui spesifikasi khusus dari kendaraan jenis station wagon maka dengan mudah kita akan bisa mengidentifikasi apakah sebuah mobil termasuk dalam kriteria sebagai station wagon atau bukan.

Berdasarkan spesifikasi yang sudah disebutkan di atas, untuk mobil keluaran Toyota yang dipasarkan di Indonesia, yang memenuhi kriteria sebagai station wagon antara lain Avanza, Innova, Rush, Fortuner, Previa, Land Cruiser dan Alphard.

Pada mobil keluaran Suzuki yang termasuk kategori station wagon antara lain Aerio, Escudo, Vitara, Karimun dan Katana.

Pada mobil keluaran Honda antara lain CRV, Odyssey dan Freed. Pada mobil keluaran Hyundai antara lain Tucson, H-1, dan Santa Fee.

Adapun untuk Jazz (Honda), Yaris (Toyota), X-Over (Suzuki), Aveo (Hyundai), dan yang sejenisnya mempunyai spesifikasi sebagai Hatchback, merupakan station wagon dengan ukuran relatif lebih kecil.

Uraian di atas mudah-mudahan mengurangi ke-gamang-an kita untuk mengidentifikasi apakah suatu jenis kendaraan bermotor termasuk dalam kategori station wagon atau bukan sehingga ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf c UU PPN ini dapat diterapkan sebagaimana mestinya.

Baca selengkapnya [...]